26/11/10. TEMPO Interaktif, Jakarta - Tiga hari  menjelang Konferensi Para Pihak PBB untuk Perubahan Iklim Ke-16 atau  "The Sixteenth Conference of Party" di Cancun, Meksiko, koalisi lembaga  swadaya masyarakat menggalang Gerakan Rakyat Indonesia Bertanya. Jumat  (26/11) pagi, gerakan ini diluncurkan di Jakarta.
Ada dua pertanyaan besar yang diajukan koalisi sejumlah lembaga  antara lain Walhi, Institut Hijau Indonesia, Greenpeace, Kiara, KAU,  IESR dan Sawit Watch. Pertama, sudahkah pemimpin-pemimpin negara Annex-1  menurunkan emisi secara nyata di negara mereka ? Berapa penurunan emisi  yang sudah mereka lakukan hingga saat ini?
Kedua, apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam  mempersiapkan ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Indonesia yang sedang  berada di jurang bencana perubahan iklim ? Indonesia mengirimkan  delegasi ke konferensi PBB di Cancun pada 29 November-10 Desember 2010.
Menurut Chalid Muhammad, dari Institut Hijau Indonesia, perubahan  iklim merupakan salah satu bukti kegagalan model pembangunan yang selama  ini dipraktikkan dunia, terutama di negara maju. Sayangnya solusi yang  ditawarkan dalam rangkaian perundingan iklim belum mampu mengatasi  masalah perubahan iklim. Pengurangan emisi secara global, tujuan yang  menjadi mandat UNFCCC (The United Nations Framework Convention on  Climate Change) terlupakan, dan kian mengarah kepada praktek business as  usual.
Setelah Konferensi PBB tentang Iklim di Copenhagen tahun lalu, kata Ali Akbar dari WALHI,  tidak ada perubahan maupun gebrakan yang signifikan yang ditunjukkan  oleh pemimpin-pemimpin negara dalam mengatasi perubahan iklim. Bahkan  terdapat kecenderungan untuk melemahkan perundingan dan pengelakan  negara-negara Annex-1 untuk benar-benar memenuhi komitmennya menurunkan  emisi nyata di negara mereka masing-masing.
Rangkaian pertemuan dengan pembahasan berbagai isu tematik  diselenggarakan UNFCCC sejak Februari 2009. Namun berbagai perundingan,  belum dapat mencapai kesepakatan tentang seberapa besar penurunan emisi  gas rumah kaca bagi negara maju setelah periode Protokol Kyoto. Komitmen  negara maju dalam upaya memotong emisinya harus kembali dipertanyakan.
Indonesia sebagai negara yang rentan terhadap perubahan iklim, tulis  koalisi lembaga swadaya masyarakat ini, dituntut dapat memainkan peran  dalam mengarahkan arah negosiasi. Pertama, tetap fokus pada penurunan  emisi secara nyata (tingkat karbon dioksida (CO2) dunia dijaga tidak  lebih dari 450 ppm). Kedua, memastikan tidak ada kenaikan temperatur  global diatas 2°C. Tidak dipenuhinya komitmen tersebut akan berakhir  katastropik, dan merugikan Indonesia yang merupakan negara kepulauan.
COP 16 di Mexico akan kembali menjadi saksi apakah pemimpin-pemimpin  dunia benar-benar serius dengan berbagai komitmen mereka di masa lalu.  Rakyat Indonesia, dan di berbagai negara berkembang lainnya, tidak dapat  menunggu lagi janji-janji tersebut. Kami ingin melihat komitmen berubah  menjadi kenyataan.
Ali Akbar menjelaskan pihaknya menggalang dukungan seluruh rakyat  Indonesia, dan rakyat di negara berkembang lainnya, untuk mengajukan  pertanyaan yang sama. Sudah saatnya pemimpin dunia tidak lagi  bermain-main dan mempertaruhkan ratusan juta rakyat yang rentan terhadap  dampak perubahan iklim dan mempertahankan business as usual  mereka.UNTUNG WIDYANTO
Sumber : http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-iklim/158-kembalikan-perundingan-iklim-ke-khitahnya
Sumber : http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-iklim/158-kembalikan-perundingan-iklim-ke-khitahnya

Tidak ada komentar:
Posting Komentar