Selasa, 04 Oktober 2011

Kembalikan Perundingan Iklim ke Khitahnya

26/11/10. TEMPO Interaktif, Jakarta - Tiga hari menjelang Konferensi Para Pihak PBB untuk Perubahan Iklim Ke-16 atau "The Sixteenth Conference of Party" di Cancun, Meksiko, koalisi lembaga swadaya masyarakat menggalang Gerakan Rakyat Indonesia Bertanya. Jumat (26/11) pagi, gerakan ini diluncurkan di Jakarta.
Ada dua pertanyaan besar yang diajukan koalisi sejumlah lembaga antara lain Walhi, Institut Hijau Indonesia, Greenpeace, Kiara, KAU, IESR dan Sawit Watch. Pertama, sudahkah pemimpin-pemimpin negara Annex-1 menurunkan emisi secara nyata di negara mereka ? Berapa penurunan emisi yang sudah mereka lakukan hingga saat ini?
Kedua, apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Indonesia yang sedang berada di jurang bencana perubahan iklim ? Indonesia mengirimkan delegasi ke konferensi PBB di Cancun pada 29 November-10 Desember 2010.
Menurut Chalid Muhammad, dari Institut Hijau Indonesia, perubahan iklim merupakan salah satu bukti kegagalan model pembangunan yang selama ini dipraktikkan dunia, terutama di negara maju. Sayangnya solusi yang ditawarkan dalam rangkaian perundingan iklim belum mampu mengatasi masalah perubahan iklim. Pengurangan emisi secara global, tujuan yang menjadi mandat UNFCCC (The United Nations Framework Convention on Climate Change) terlupakan, dan kian mengarah kepada praktek business as usual.
Setelah Konferensi PBB tentang Iklim di Copenhagen tahun lalu, kata Ali Akbar dari WALHI, tidak ada perubahan maupun gebrakan yang signifikan yang ditunjukkan oleh pemimpin-pemimpin negara dalam mengatasi perubahan iklim. Bahkan terdapat kecenderungan untuk melemahkan perundingan dan pengelakan negara-negara Annex-1 untuk benar-benar memenuhi komitmennya menurunkan emisi nyata di negara mereka masing-masing.
Rangkaian pertemuan dengan pembahasan berbagai isu tematik diselenggarakan UNFCCC sejak Februari 2009. Namun berbagai perundingan, belum dapat mencapai kesepakatan tentang seberapa besar penurunan emisi gas rumah kaca bagi negara maju setelah periode Protokol Kyoto. Komitmen negara maju dalam upaya memotong emisinya harus kembali dipertanyakan.
Indonesia sebagai negara yang rentan terhadap perubahan iklim, tulis koalisi lembaga swadaya masyarakat ini, dituntut dapat memainkan peran dalam mengarahkan arah negosiasi. Pertama, tetap fokus pada penurunan emisi secara nyata (tingkat karbon dioksida (CO2) dunia dijaga tidak lebih dari 450 ppm). Kedua, memastikan tidak ada kenaikan temperatur global diatas 2°C. Tidak dipenuhinya komitmen tersebut akan berakhir katastropik, dan merugikan Indonesia yang merupakan negara kepulauan.
COP 16 di Mexico akan kembali menjadi saksi apakah pemimpin-pemimpin dunia benar-benar serius dengan berbagai komitmen mereka di masa lalu. Rakyat Indonesia, dan di berbagai negara berkembang lainnya, tidak dapat menunggu lagi janji-janji tersebut. Kami ingin melihat komitmen berubah menjadi kenyataan.
Ali Akbar menjelaskan pihaknya menggalang dukungan seluruh rakyat Indonesia, dan rakyat di negara berkembang lainnya, untuk mengajukan pertanyaan yang sama. Sudah saatnya pemimpin dunia tidak lagi bermain-main dan mempertaruhkan ratusan juta rakyat yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dan mempertahankan business as usual mereka.UNTUNG WIDYANTO

Sumber : http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-iklim/158-kembalikan-perundingan-iklim-ke-khitahnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar