Rabu, 28 Desember 2011

Percepat Pemulihan, Izin Eksplorasi Emas di Bima Mesti Dicabut

MATARAM, KOMPAS.com - Izin Usaha Pertambangan eksplorasi emas oleh PT Sumber Mineral Nusantara, di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat mesti dicabut untuk mempercepat pemulihan keadaan pasca tragedi berdarah di Pelabuhan Sape, Sabtu (24/12/2011), pekan lalu.

Ridha Saleh, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan, Rabu (28/12/2011), di Bima, bahwa izin tambang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bima pada tahun 2010 itu yang menjadi sumber konflik di masyarakat. Izin yang dimaksud Surat Keputusan (SK) Nomor 188.45/357/004/2010.

"SK itu angka setan yang menjadi pemicu konflik di Sape. SK tersebut mesti dicabut untuk menenangkan masyarakat dan menciptakan suasana menjadi kondusif kembali," kata Ridha Saleh, di Bima.

Secara terpisah Bupati Bima Ferry Zulkarnain menyatakan akan mempertimbangkan pencabutan SK No 188 itu. "Komnas HAM menyarankan demikian, dan peluang itu ada (pencabutan SK). Namun saya perlu jaminan dari pemerintah pusat, sebab dalam hal ini dilakukan diskresi, ini kembali ke undang-undang," kata Ferry.

Ferry berpendapat, pencabutan izin tambang harus memperhatikan ketentuan undang-undang, yakni apabila perusahaan melakukan tindak pidana, perusahaan melanggar kewajibannya, atau perusahaan menyatakan diri pailit.

Izin eksplorasi emas yang dikeluarkan oleh Pemkab Bima itu ditentang keras oleh warga Desa Sumi. Bahkan ketika bupati mengeluarkan SK penghentian sementara kegiatan tambang pada 23 Desember 2011 lalu, SK tersebut juga ditolak warga. Warga Sumi hanya menuntut, SK No 188 itu dicabut demi pertimbangan kelestarian lingkungan.

Bunuh Rakyat Bima, Walhi Minta Pemerintah RI Adili Managing Director ARX, John C. Carlile

JAKARTA, PedomanNEWS.com - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meminta Pemerintah RI agar mendesak pemilik 95 persen proyek tambang Bima, Arch Exploration dengan kode perusahaan ARX bertanggungjawab dan diadili atas penembakan rakyat di Bima. Hal ini disampaikan Pengkampanye Tambang dan Energi WALHI, Pius Ginting kepada PedomanNews.com, Jakarta, Rabu (28/12/2011).

"Pemilik 95% proyek tambang Bima yang ditentang warga, Arch Exploration dengan kode perusahaan ARX lewat Managing Director John C. Carlile pada 28 Desember 2011 lewat situs perusahaan www.arcexploration.com.au berusaha lepas tanggung-jawab atas penembakan rakyat di Bima," ujarnya.

Selasa, 27 Desember 2011

Masyarakat Sipil Siapkan Aksi Massa

Jakarta,  - Kelompok masyarakat sipil yang membentuk sekretariat bersama terkait reformasi agraria dan konflik pengelolaan sumber daya alam menyiapkan aksi massa serentak. Di daerah-daerah, berbagai aksi sudah dimulai dan puncaknya ditargetkan awal Januari 2012.
Isu aksi secara umum adalah reformasi agraria yang selama berpuluh-puluh tahun tidak tuntas diselesaikan. Selain itu, mendesak pemerintah menghentikan kekerasan aparatnya terhadap warga negara. ”Semua prosedur biasa sudah ditempuh untuk memperoleh solusi, tetapi tidak kunjung ada perbaikan,” kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi Berry Nahdian Furqan di Jakarta, Selasa (27/12).
Di daerah-daerah, kantor kepala daerah, instansi pemerintah, dan gedung DPRD akan menjadi sasaran penyampaian aspirasi. Di Jakarta, Istana Presiden dan Gedung MPR/DPR/DPD yang akan menjadi sasaran aksi massa.
”Sejauh ini, belasan ribu peserta aksi dari sejumlah daerah dan kelompok akan bergabung ke Jakarta,” kata Berry. Berbagai kekerasan di daerah, seperti Mesuji dan Bima, dijadikan momentum gerakan menuntut reformasi agraria dan keadilan sosial dalam pengelolaan sumber daya alam.
Di Jakarta, 20 hari lebih warga sekitar perkebunan besar dan pertambangan dari Jambi, Lampung, dan Kepulauan Riau berkemah di depan pintu gerbang Gedung MPR/DPR/DPD. Mereka menuntut pencabutan izin konsesi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, di antaranya dengan aksi jahit mulut 28 warga Pulau Padang, Kepulauan Riau.
Kembali ke konstitusi
Mengenai aksi massa serentak itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (STI) Henry Saragih mengatakan, hal itu bentuk seruan agar pemerintah kembali pada konstitusi. Secara gamblang, Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, seluruh kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
”Yang terjadi, semuanya dilanggar. Bukannya melindungi penguasaan tanah yang sudah kecil oleh warga, pemerintah justru mendorong penguasaan tanah dan sumber daya alam kepada korporasi besar,” katanya. Yang terjadi, warga terus kehilangan gantungan hidup.
Lebih parah lagi, menurut Henry, pemerintah kian menyudutkan warga. Salah satunya, UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang disahkan 17 Desember 2011. ”Reformasi agraria harus dilakukan. Harus jelas mana tanah untuk negara, warga, dan swasta. Untuk hutan, sawah, dan lain-lain. Kalau tidak, bentrokan akan terus terjadi,” katanya.

Ribuan Warga Demonstrasi Kutuk Tragedi Sape, Bima

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM- Sekitar seribu warga dari berbagai elemen masyarakat di Nusa Tenggara Barat menggelar unjuk rasa di Mataram, Selasa, terkait tragedi berdarah di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, 24 Desember 2011.

Warga pengunjuk rasa yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menggelar aksi di depan Gedung DPRD NTB yang berlokasi di Jalan Udayana, Kota Mataram. Pengunjuk rasa tidak diperbolehkan memasuki halaman DPRD NTB yang dijaga ketat oleh polisi.

Koalisi Rakyat NTB itu dikoordinir oleh sejumlah aktivis organisasi kepemudaan, mahasiswa, lingkungan hidup dan ormas lainnya.

Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB Ali Hasan Al Khairi, juga terlihat mengkoordinir pengunjuk rasa. Seperti aksi-aksi sebelumnya yang digelar pascatragedi berdarah di Pelabuhan Sape, mereka menuntut pencabutan usaha pertambangan (IUP) yang dikantongi PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).

IUP bernomor 188/45/357/004/2010 itu diterbitkan Bupati Bima Ferry Zulkarnaen, yang mencakup areal tambang seluas 24.980 hektare di wilayah Kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu.

Pengunjuk rasa juga terus menuntut pertanggungjawaban sekaligus pencopotan Kapolda NTB Brigjen Pol Arif Wahyunadi dan Kapolres Bima AKBP Kumbul atas tewasnya dua warga Bima yang ditembak polisi saat pembubaran paksa unjuk rasa di Pelabuhan Sape.

"Kami menuntut pertanggungjawaban Kapolda NTB, Kapolres Bima, Bupati Bima. Hentikan kekerasan terhadap pengunjuk rasa yang ingin menyampaikan aspirasi," ujar seorang orator.

Orator lainnya menyoroti tindakan represif aparat kepolisian yang berlindung dibalik alasan telah menganggu ketertiban umum. Warga berpendapat unjuk rasa di Pelabuhan Sape hingga mencuat tragedi berdarah itu dilakukan warga Bima untuk mempertahankan sumber-sumber kehidupannya. Usaha tambang emas di Bima itu dikhawatirkan berdampak terhadap kerusakan lingkungan yang berakibat petani kesulitan air.

Redaktur: Stevy Maradona
Sumber: Antara

Sumber Lengkap : http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/12/27/lwuign-ribuan-warga-demonstrasi-kutuk-tragedi-sape-bima

Bima Masih Mencekam

Situasi di Kecamatan Lambu dan Sape, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, masih mencekam pascatragedi berdarah di Pelabuhan Sape. Sejak Ahad pagi, warga mengamuk dan merubuhkan kantor yang telah dibakar sehari sebelumnya.

Warga yang membawa senjata tajam juga memblokir jalan, guna membendung pergerakan polisi karena beredar kabar, polisi akan menggelar "sweeping". Warga memblokade jalan akses menuju Kecamatan Lambu, yang menghubungkan Lambu dengan Kecamatan Sape.

Khusus di Kecamatan Lambu, warga berkonsentrasi di dua desa yakni Desa Rato dan Desa Suni. Delian Lubis, Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Cabang Bima, yang dihubungi dari Mataram, mengatakan, warga masih trauma dengan tindakan represif polisi sehingga mempersiapkan diri untuk melawan.

Bahkan, warga Kecamatan Lambu masih melampiaskan kemarahan. Mereka mengamuk dan merubuhkan sisa bangunan kantor milik pemerintah yang dibakar saat polisi membubarkan paksa unjuk rasa disertai blokade jalan di Pelabuhan Sape, Sabtu (24/12) pagi.

Pada 24 Desember 2011, aparat Polres Bima yang didukung Satuan Brigade Mobil (Brimob) Polda NTB dan satuan TNI serta aparat terkait lainnya, membubarkan paksa aksi unjuk rasa ribuan warga disertai blokade ruas jalan menuju Pelabuhan Sape, yang telah berlangsung sejak 19 Desember 2011.

Pelabuhan Sape berlokasi di Kecamatan Sape, namun warga pengunjuk rasa yang menguasai kawasan itu merupakan penduduk Kecamatan Lambu, yang melakukan aksi protes terhadap usaha penambangan di wilayah Lambu.

Polisi menggempur pengunjuk rasa dengan tembakan hingga dua orang dilaporkan tewas terkena peluru, dan puluhan warga pengunjuk rasa lainnya luka-luka. Kedua korban tewas itu dilaporkan bernama Arif Rahman (18) dan Syaiful (17), keduanya warga Desa Suni, Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima.

Beberapa jam kemudian, pengurus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) NTB menginformasikan kader mereka Immawan Ashary, juga tewas dalam tragedi itu.

Ribuan pengunjuk rasa yang terdesak saat digempur polisi, berpencar dan kelompok yang kembali ke Kecamatan Lambu, murka dan membakar Kantor Desa Lambu, rumah Kepala Desa Lambu, dua unit rumah anggota DPRD NTB Dapil IV (Kota Bima dan Kabupaten Bima), serta Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Lambu.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/12/25/lwrazs-bima-masih-mencekam