Kamis, 03 November 2011

Hukum Berpihak pada Penjahat Lingkungan

Penegakan hukum yang menjerat para pelaku kejahatan lingkungan tampak tak dipedulikan oleh para aparat penegak hukum. Bahkan, lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan hidup, WALHI, tidak pernah menang sekali pun di meja hijau mana kalamenggugat para pelaku kriminalisasi lingkungan.

Pengusutan terhadap korupsi bahkan perampasan hak lahan warga untuk kepentingan eksploitasi pun minim dilakukan Polri. Alasannya? Kembali lagi berujung pada terbatasnya dana. Demikian disampaikan Deputi Direktur WALHI, Ali Akbar, dalam bincang-bincang dengan Kompas.com, pada Jumat (22/10/2010), di kantor WALHI, Jakarta.

"Penegakan hukum untuk masalah lingkungan di Indonesia ini mundur, ini bisa terlihat dari kecilnya kasus tindakan kriminal  lingkungan yang diusut pihak kepolisian. Setiap ditanya mengapa laporan tidak ditindaklanjuti, alasannya selalu karena dana terbatas sehingga tidak bisa investigasi sampai ke lokasi," ucap Ali.

Berdasarkan data yang dihimpun WALHI, dalam periode Januari-Juni 2010, Mabes Polri hanya menangani 13 kasus tindak pidana lingkungan dengan enam tersangka. Sementara di tahun 2009, total hanya 17 kasus dengan sepuluh tersangka.Bahkan untuk kasus-kasus yang diadvokasi WALHI, tidak ada satu pun yang berpihak pada kepentingan masyarakat mana kala sudah dilimpahkan ke meja hijau.

"Contohnya kita pernah menangani kasus Semen Gresik, kasus dam Kotopanjang dan banyak lagi tapi selalu kalah. Kerusakan akibat lingkungan ini fakta yang jelas dilihat dan langsung dirasakan masyarakat tapi tetap saja tidak digubris," ungkap Ali. Selama ini, menurut Ali, ketidakadilan dalam penegakan hukum terkait lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam terus  terjadi dengan keberpihakan pada pengusaha. Begitu banyaknya warga masyarakat yang dikriminalisasi, bahkan mengalami  kekerasan hingga tewas karena menghalang-halangi kegiatan pengusaha, baik dalam usaha perkebunan dan pertambangan.

Salah satu contoh kasus yakni terkait penetapan pengusaha sawit Murad Husein sebagai tersangka perampasan laahn di Banggai pada Maret 2010, hingga kini yang bersangkutan masih bebas dan kasusnya belum ditindaklanjuti. Sementara 17 warga dan aktivis saat ini mendekam di tahanan karena berdemonstrasi dan dituduh merusak fasilitas kntor perusahaan milik Murad Husein. "Oleh karena itu pemerintanh harus lebih serius menangani menegakkan hukum untuk menjerat para penjahat lingkungan ini.

Sementara itu, untuk teknis di lapangan terkait pemberian izin dan pengawasan eksploitasi juga harus ada dasar peraturan  pemerintahnya sehingga jelas dan tegas. Jangan hanya buat undang-undang tapi tidak ada instrumen operasionalnya," tandas Ali.

Adapun, di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 tahun 2009 menyatakan bahwa semua peraturan pelaksana UU tersebut akan selesai dalam waktu setahun (tepat pada Oktober ini). Namun, jumlah peraturan pemerintah yang awalnya ditargetkan 20 buah hingga disusutkan menjadi sembilan saja hingga kini pun tak juga diwujudkan. (Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar