Senin, 26 Maret 2012

TRIP REPORT "NO NUKE ASIA FORUM, South Korea March, 17th-24th , 2012

 By. Ali Akbar

Sepenggal kisah ketika saya mengikuti agenda Forum Anti Nuklir Asia atau No Nuke Asia Forum (NNAF) di Seoul, Korea Selatan  ini. Saya mulai dari bagaimana menempuh perjalanan menuju Kota Seoul dari Jakarta.  Perjalanan Menuju Seoul dari Jakarta cukup melelahkan, karena saya harus berada di udara selama 10,5 jam. Pesawat yang membawa saya dari Jakarta sempat transit di Kuala Lumpur, Malaysia. Hingga akhirnya berhasil mendarat mulus di Bandara Internasional Incheon, Korea Selatan.
Sesampai di Incheon, Saya kesulitan untuk mendapatkan bis menuju Seoul.Pemandu  kami kemudian menyarankan untuk  menggunakan bis lain.  Setelah menempuh perjalanan beberapa jam menggunakan bis,  sekitar pukul 01.00  dinihari waktu setempat, saya pun  tiba di Seoul Women Plaza (tempat saya menginap) dalam keadaan lapar yang sangat. Saat itu terpaksa saya harus istirahat dengan menahan rasa lapar karena sulitnya mencari toko yang masih buka pada dinihari.
Esoknya, Minggu 18 maret, tidak ada panitia yang mengunjungi kami. Akhirnya kami mencoba mencari makan sendiri dan berharap sudah ada toko yang buka dan bisa membeli sesuatu makanan untuk mengganjal perut yang sejak malam hari sudah keroncongan. Namun sialnya, toko di sekitar tempat kami menginap tidak ada yang buka dibawah jam 09.00. Kami pun terpaksa kembali menahan lapar sampai jam 10.00 sambil menunggu toko makanan buka.
Pada hari Minggu itu, tidak banyak yang bisa saya ceritakan. Karena hari itu kami hanya mencoba beristirahat untuk memulihkan kondisi tubuh, setelah menempuh perjalanan yg cukup melelahkan dan diterpa rasa lapar  yang mencengkram hingga pagi hari. Selebihnya saya hanya mencoba beradaptasi saja dengan lingkungan sekitar tempat kami menginap.
Senin, 19 maret, yang menjadi hari ketiga saya di negeri Ginseng ini, akan dimulai dengan aktifitas aksi demostrasi penolakan reaktor nuklir. Sekitar pukul 08.30, saya dan rombongan sudah berada didalam bis menuju lokasi aksi (Sejong city), setelah sebelumnya melakukan kegiatan makan pagi bersama dengan menu-menu yang sebetulnya kurang familiar di lidah saya. Saya dan kawan-kawan lain yang juga datang dari berbagai Negara di Asia itu melakukan demonstrasi bersama aktifis lokal disana. Namun bedanya, aksi demonstrasi yang dilakukan di Korea menggunakan istilah ‘press conference’. Menariknya press conference disini dilakukan didepan publik umum. Hal ini yang membedakan antara press conference yang biasa dilakukan di Indonesia dengan yang dilakukan disini. Philosopy ‘every act is campaign’ sepertinya melekat kuat disini.
Banyak hal yang menarik dari aksi yang kami lakukan ini. Suara yang disampaikan tertuju dengan jelas kepada sasaran, kalimat seperti ‘hentikan walikota lindungi demokrasi’ terus menerus disampaikan oleh massa aksi. Hingga kemudian aksi selesai hingga pukul 17.00.
Disela istirahat usai aksi, saya mencoba diskusi dengan kawan-kawan yang berasal dari Fukushima,Jepang. Mereka menceritakan bagaimana kondisi kehidupan mereka pasca kecelakaan reaktor nuklir  Fukushima Daiichi. Mereka menceritakan saat itu banyak sekali orang yang prustasi, bahkan bunuh diri karena sudah tidak mempunyai harta benda akibat dampak radiasi nuklir. Selain itu usaha yang mereka lakukan untuk kembali ke tanah mereka setelah dinyatakan tidak terkontaminasi seperti sia-sia. Hal itu kata mereka disebabkan oleh hujan yang turun atau angin yang bertiup kearah mereka dan kembali mengakibatkan terjadinya peningkatan radiasi. 
Dalam cerita kawan-kawan yang berasal dari Fukushima tadi, para petani dan nelayan juga tidak dapat menjual hasil tangkapan mereka, serta hasil pertanian tidak ada lagi yang bisa dijual. Semua  yang berasal dari Fukushima dianggap telah terpapar radiasi. Kondisi itulah yang diceritakan kawan-kawan Fukushima, yang akhirnya membuat banyak nelayan di Fukushima prustasi hingga banyak yang mengidap gangguan jiwa bahkan melakukan aksi bunuh diri. Saya tertegun mendengar ceritanya, kisah –yang disampaikan kawan-kawan Fukushima itu, semakin memantapkan tujuan saya ke Seoul untuk terus menolak pembangkit Energi yang berasal dari Nuklir, dan meyakinkan  Dunia bahwa Nuklir bukanlah solusi energi.
Puas dengan kegiatan dari pagi hingga sore, yang diisi dengan dengan kegiatan kampanye dan bincang-bincang dengan kawan-kawan Fukushima. Malam harinya sekitar pukul 19.35 waktu Korea Selatan, saya kembali memulai aktifitas dengan menghadiri sebuah diskusi yang narasumbernya adalah kawan yang bernama Hasegawa dari Fukushima.
Dalam diskusi itu Hasegawa mengisahkan jika tempat tinggalnya hanya berjarak 15 Kilometer dari pembangkit listrik tenaga nuklir. Diceritakan juga oleh Hasegawa  ketika reaktor nuklir dari pembangkit listrik meledak, ledakannya mengeluarkan suara yang sangat kuat. Pasca ledakan masih dalam kisah Hasegawa, warga di evakuasi ketempat lain kemudian desanya dinyatakan sebagai daerah berbahaya dan dilarang untuk di tempati.
Kepala desa menurut Hasegawa berusaha meminta kepada pemerintah untuk meminta warganya kembali ke desa mereka, namun tidak ada masyarakat yang mau kembali ke kampungnya, karena khawatir dengan tingkat radiasi yang masih tinggi.
Petani dalam situasi seperti itu mengambil keputusan untuk menghentikan aktivitas pertanian tanpa dukungan dari pemerintah. Ternak seperti sapi tidak dapat dievakuasi dan terpaksa di tinggalkan disana atau dibunuh dengan meminta bantuan pemerintah untuk membunuhnya. Para petani wanita  menangis saat meyaksikan ternak mereka dimusnahkan .
Sekarang ini kata Hasegawa saat melanjutkan paparannya dalam diskusi itu, mereka melakukan monitoring terhadap desa mereka setiap hari. Mereka juga mencoba membersihkan tanaman dari kebun mereka. Hasegawa saat itu juga menunjukan photo kepada peserta diskusi. Sebuah photo Hasegawa bersama keluarganya di kampung halaman mereka, dan menyatakan tidak akan pernah mau mengambil photo bersama lagi disana.
Dia juga menunjukan photo kandang ternak dengan sapi yang mati pada jarak 21 km dari reaktor. Hingga saat ini mereka tidak tahu bagaimana menghilangkan kontaminasi dari radiasi, bahkan tragedy Chernobyl pun tidak mungkin menghilangkan kontaminasi, dan mereka terpaksa memilih hidup baru dan pindah dari kampung halaman mereka.
Walaupun pemerintah kata Hasegawa menyatakan setelah kontaminasi hilang warga dapat pulang lagi kekampung mereka. Namun itu adalah hal mustahil dilaksanakan. Kampung, gunung dan laut sudah terkontaminasi dan tidak mungkin kembali. Mereka yang pindah di Nagasaki pun lanjut Hasegawa mendapat diskrimnasi dari masyarakat yang lain.
Mendengar paparan Hasegawa itu, yang merupakan sebuah kisah nyata dan juga harus menjadi pelajaran bagi dunia. Timbul pertanyaan dalam benak saya, terpikir negara saya dalam benak ini. Mengapa walau dampak bencana ini sudah terlihat, tapi pemerintah Indonesia masih juga menggalakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), dan tidak pernah mau belajar dari apa yan terjadi di Chernobyl dan Fukushima. Padahal apa yang terjadi di Chernobyl dan Fukushima itu adalah sesuatu yang sangat mengerikan dan merupakan ‘Mimpi buruk’ bagi dunia.
Diakhir paparannya, Hasegawa juga merasa aneh pemerintahnya masih terus menggalakan pembangkit listrik nuklir, bahkan masih berusaha terus meng-ekspornya ke Negara lain. Di akhir katanya - Hasegawa menyatakan minta maaf atas kelakuan pemerintah mereka.
Narasumber kedua  dalam diskusi itu adalah dari philipina yang kurang saya ingat namanya. Menurutnya Bataan Nuclear Power Plan (BNPP) di Philipina dibangun sejak  jaman pemerintah Marcos. Namun setelah mengetahui dampak PLTN, masyarakat Philipina melakukan gerakan penolakan untuk menutup PLTN tersebut. Masyarakat gabungan dari professional, petani, nelayan serta individual melakukan perlawanan terhadap PLTN di Philipina.
Hingga sekarang, kata narasumber, reaktor nuklir di Philipina sudah dibangun tapi tidak pernah beroperasi. Itu karena pada 20 Juni 1999  masyarakat  Philipina pernah melakukan aksi dengan duduk dijalan untuk menghentikan PLTN. Semua agenda ditutup pada waktu itu, baik sekolah dan took. Semua masyarakat turun kejalan untuk melakukan protes. Alasan protes warga adalah tidak ada jaminan keselamatan, harga yang mahal dan korupsi yang dilakukan pemerintah. BNPP adalah syombol kegagalan dari pemerintah Marcos yang korup.
Menurut kawan dari Philipina itu,  San Miguel (SM) Corporation memiliki relasi dengan Kepco Korea untuk membangun BNPP, pasca di tolaknya Bataan, SM mencoba mencari daerah lain yaitu daerah “panggasinan” . Selain itu, pemerintah Manila juga melakukan komunikasi dengan Tepco Jepang untuk membahas ilmu Nuklir.
Beberapa materi yang disampaikan oleh narasumber  tadi, membuat pikiran saya semakin solid untuk terus membangun gerakan rakyat dalam rangka menolak PLTN di Indonesia yang dampaknya  sangatlah mengerikan seperti sudah diceritakan oleh dua narasumber yang berasal dari Philipina dan Jepang tadi. Indonesia masih memiliki banyak sumber energi  yang bersih, ramah lingkungan dan terbarukan bagi Indonesia selain nuklir.
Usai menghadiri sesi diskusi tadi, kegiatan saya selama di Korea Selatan pun dilanjutkan keesokan harinya. Kegiatan yang sudah terjadwal untuk esok hari adalah melakukan aksi dan kunjungan ke Kota Samcheock.
Setelah menempuh 4 jam perjalanan menggunakan bis dari kota Yeongdock menuju Samcheock.  Paginya kami melakukan kunjungan dan aksi di Samcheock. Kegiatan pertama di Samcheock adalah  mengunjungi prasasti penolakan rakyat terhadap PLTN. Informasi dari lokal leader adalah rencana pembangunan PLTN dikota Samcheock ini dibatalkan, karena masyarakat melakukan perlawanan dengan cara melakukan demonstrasi besar untuk menghentikan rencana tersebut. Perlawanan juga dilakukan dengan kampanye media, dimana informasi tentang penolakan dilakukan secara terus menerus.
Masih di Kota Samcheock, selanjutnya saya beserta rombongan mengunjungi satu pantai kecil dimana pemerintah menetapkan wilayah tersebut sebagai site plan PLTN. Masyarakat  disana sebenarnya tidak keberatan dengan wilayah tersebut, namun dalam  perkembanganya, pemerintah tidak melanjutkan wilayah pantai di Samcheock tersebut menjadi site plan PLTN.
Kondisi itu disebabkan wilayah pantai tersebut merupakan wilayah rawan Tsunami. Pemerintah  disana juga telah menyiapkan satu kawasan di Samcheock untuk – sebuah pembangunan pabrik besar. Namun investor akhirnya tidak mau membangun pabriknya disana, karena penolakan rakyat terhadap pembangunan PLTN yang dilakukan begitu masif.  Itulah sekelumit sejarah Samcheock yang disampaikan lokal leader.
Pukul 12.30 kami pun kembali ke Kota  Yeongdock, dan melakukan demonstrasi di kantor gubernur Yeongdock.  Seperti hari sebelummnya, dalam istilah mereka ini bukan merupakan demonstrasi namun sebuah Press Conference. Cukup banyak media lokal yang melakukan liputan terhadap aksi yang kami lakukan. Tidak ada wawancara dengan media dalam Press Confrence itu, para aktifis bersama masyarakat hanya menyampaikan seruannya dan kemudian aksi ini ditutup.
Aksi selanjutnya yang kami lakukan adalah melakukan marching atau  pawai keliling kota Yeongdock, aksi ini dilakukan selama satu jam. Kemudian kami melakukan diskusi dengan masyarakat lokal dengan presentasi dari warga Fukushima, Jepang dan Taiwan.
Warga Fukushima menceritakan tentang ketidakmenentuan masa depan mereka, setelah kehilangan semuanya akibat meledaknya reaktor Nuklir. Mereka menceritakan tentang bagaimana mereka kehilangan rumah, kebun, dan ternak. Sementara Pemerintah, juga Tepco tidak peduli dengan nasib mereka.
Sedangkan warga Taiwan menceritakan tentang bagaimana mereka mengawasi beroperasinya salah satu reaktor nuklir mereka “long man” (NPP4). Mereka menceritakan bagaimana manajemen yang buruk pada saat pengelolaan sampah nuklir seperti drum. Petugas hanya melakukan pengelolaan ini di ruangan dengan ventilasi terbuka dan tanpa alat perlindungan sama sekali.
Mereka juga menceritakan rencana pembangunan 3 reaktor baru yang diimpor dari Jepang ( Hitachi), pembangunan reaktor ini  sama seperti sebelumnya dilakukan sangat cepat dan tanpa proses partisipasi yang cukup.
Tidak adanya proses partisipasi yang memadai ternyata tidak menghambat pembangunan reaktor yang keempat. Bahkan sudah 90 persen pembangunan itu selesai dilaksanakan. Dalam ceritanya kawan-kawan dari Taiwan menjelaskan, kini pembangunan  reaktor yang keempat itu hampir selesai dan telah masuk dalam tahap melakukan tes pada sistemnya, namun mengalami masalah saat dilakukan pengujian. Tidak pernah disampaikan secara terbuka apa masalah yang menjadi kendala saat pengujian sistemnya itu.
Dalam diskusi itu kawan-kawan dari Taiwan juga memberikan informasi yang didapat dari beberapa ahli yang bekerja dan telah keluar, mungkin butuh 10 hingga 15 tahun lagi untuk dapat beroperasinya reactor  4. Karena saat tes dilakukan, sistem meledak sebanyak dua kali. Sekarang ini NPP4 telah menghabiskan dana sebesar 10 triliunUS Dollar.
Usai menghadiri diskusi publik ini, saya dan kawan-kawan peserta NNAF pun akhirnya harus menuju penginapan yang berada di kota Yeongdock, guna melakukan istirahat dan melanjutkan perjalanan esok hari ke kota Busan.
Esok harinya, 21 Maret, Kami memulai perjalanan dari Kota Yeongdock  menuju Kota Busan.Perjalanan itu kami tempuh  kurang lebih 2,5 jam. Tidak ada kegiatan selama perjalanan saya dari Yeongdock ke Busan, karena memang semua peserta mulai lelah dengan suhu yag selalu berada dikisaran 7 derajat celcius.
Sesampainya di Busan kami menuju pusat Asia Pacific Nuclear Conference (APNC), dalam gedung itu saya melihat bendera  Indonesia ikut berkibar diantara sekian banyak bendera negara lainnya. Lalu kami melakukan Press Conference di depan gedung Bekco di Conference dan pemeran nuklir  yang sedang berlangsung.
Selain peserta dari Thailand dan Jepang serta Partai Hijau Korea Selatan, dalam press Confrence itu saya pun mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan presentasi. Kesempatan emas itu tidak saya sia-siakan, saya mencoba menyampaikan bagaimana sejak tahun 2001 Indonesia dan Korea sudah membangun kesepahaman untun melakukan riset bersama tentang Nuklir dan menjajaki kemungkinan adanya NPP di Indonesia.
Saya sampaikan juga dalam forum itu jika nuklir sebagai sebuah penemuan teknologi canggih saya jawab  “yes”,  tapi tidak untuk diterapkan pada PLTN dan senjata. Dalam Forum tersebut, saya kuatkan pernyataan saya itu dengan contoh pengalaman gagalnya teknologi canggih ini saat diterapkan dalam PLTN. Kegagalan itu harus dibayar dengan terenggutnya ribuan nyawa akibat tragedi Chernobyl dan Fukushima akibat meledaknya reaktor nuklir  disana.  Sebagai Closing Statement,  saya menyampaikan kalau kita kini harus mewaspadai keberadaan NPP, rakyat yang tinggal disekitar NPP tidak dapat hidup dengan damai karena di hantui oleh ketakutan akan potensi bocor dan meledaknya reaktor. Bayang-bayang kegagalan Chernobyl dan Fukushima menjadi sumber ketakutan akan keberadaan reactor nuklir disetiap Negara yang menggunakannya.
Sesuai jadwal, usai melakukan Press Confrence di  APNC kami menuju gedung Busanjin Distric untuk melakukan diskusi dengan tema belajar dari fukushima dan problem NPP. Disini semua wakil Negara memaparkan tentang kegiatan yang mereka lakukan, guna menghentikan rencana pemerintah untuk membangun PLTN di negaranya masing-masing.
Di Mulai dari Jepang, Hasigewa dari Fukushima kembali menceritakan tentang dampak meledaknya reaktor Fukushima Daiichi. Presentasinya kurang lebih sama dengan presentasi di Yeongdock. Dia menceritakan proses evakuasi di desa Itimura yang dilakukan secara sukarela. Kesedihan cerita rakyat tidak berakhir disana, akan tetapi bagaimana desa Itimura dengan jarak lebih kurang 16 Km dari reaktor, kehilangan semuanya, ternak, tanaman dan lain sebagainya  yang menjadi harta benda mereka.
Presentasi dari Philipina menceritakan tentang BNPP  yang sudah dibangun sejak zaman presiden Marcos, ketika Arroyo menjadi presiden, ada kerja sama antara Kepco dengan pemerintah Philipina untuk melakukan studi kelayakan dari reaktor tersebut.
Cerita lain yang disampaikan dari Philipina adalah bagaimana selanjutnya mereka mendesain kerja-kerja advokasi dan kampanye guna melakukan penolakan terhadap BNPP.
Sedangkan kawan dari Thailand, menceritakan tentang rencana pembangunan PLTN disana dan bagaimana rakyat melakukan perlawanan dari rencana tersebut. Sementara presentasi yang membingungkan adalah dari tuan rumah Korea Selatan yang diwakili oleh KFem.
KFem menyampaikan tentang kebutuhan dunia akan PLTN. Bagi saya sedikit membingungkan sebenarnya presentasi KFem ini. Penggunaan bahasa Korea dalam presentasinya menjadikan saya lebih sulit mencerna presentasi yang membingungkan itu. Usaha saya untuk mendapatkan informasi secara lengkap dari penterjemah juga agak susah untuk dimengerti. 

Mutmainah banyak bercerita tentang aksi yang dilakukan rakyat, dan perjalanan membangun Aliansi Masyarakat Madura Penolak Nuklir (AM2PN) sebagai wadah perlawanan rakyat Madura tersebut.
Pada hari ketujuh atau hari terakhir keberadaan saya di Korea Selatan dalam rangka menghadiri NNAF ini, saya yang mewakili Indonesia kembali mendapatkan kesempatan melakukan orasi saat aksi di Stasiun Samsung di Seoul. Awalnya, aksi yang akan kami lakukan adalah di World Trade Centre depan international Continental Hotel. Namun Polisi menghadang kami hingg aksi harus bergeser ke Stasiun Samsung. Pesan yang saya sampaikan dalam aksi itu adalah berhentilah membahas tentang nuklir dalam Nuclear Security Summit. Saya menjelaskan arti sebenarnya dari Nuklir adalah tidak aman, jadi Negara-negara yang terlibat dalam forum  Nuclear Security Summit hanya buang-buang waktu saja.
Kegiatan selanjutnya setelah aksi di Stasiun Samsung adalah menyusun deklarasi gerakan masyarakat sipil anggota NNAF. Dalam agenda menyusun deklarasi itu saya  memberi beberapa masukan, yang pertama adalah  sasaran deklarasi harus jelas, kemudian jangan klaim, serta tegaskan posisi masyarakat sipil tentang NNAF. Sesuai dengan kesepakatan, saya juga harus membawa hasil deklarasi di Indonesia ke Korea Selatan. Saya juga berhasil membagikan dokumen deklarasi Indonesia kepada kawan-kawan masyarakat dunia dalam forum NNAF  tersebut, dan memastikan deklarasi Indonesia sebagai referensi dalam menyusun teks Deklarasi di Seoul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar